LASEM, REMBANGCYBER.NET – Di perbukitan Desa Bonang, Lasem, angin berbisik lembut, seolah menyampaikan salam bagi setiap langkah yang mendaki menuju Pasujudan Sunan Bonang. Anak tangga yang berjumlah 155 itu seperti bercerita tentang perjalanan panjang menuju ketenangan, mengajak setiap peziarah untuk melangkah dengan hati yang khusyuk.
Pasujudan ini bukan sekadar batu yang terdiam dalam sunyi. Ia adalah saksi, yang melihat bagaimana seorang wali bersujud dalam keheningan, menyerahkan doa-doanya kepada Sang Pencipta. Batu-batu itu masih menyimpan jejak spiritual, seolah berbisik kepada setiap pengunjung, mengingatkan bahwa ketakwaan akan selalu meninggalkan jejak, meski waktu terus berlari.
Jejak Sang Wali yang Tak Pernah Pudar
Sunan Bonang, atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, tidak hanya meninggalkan ajaran Islam yang menyebar luas, tetapi juga jejak batin yang masih terasa hingga kini. Petilasan ini dipercaya sebagai tempat di mana beliau bertapa dan bersujud dalam dzikir yang mendalam.
Empat batu besar yang ada di dalamnya bukan sekadar bongkahan tak bernyawa. Batu terbesar, yang konon memiliki cap dahi Sunan Bonang, seakan masih menghangatkan bekas sujudnya. Batu yang lain, dengan cap kaki kiri, bercerita tentang seorang wali yang berdiri teguh dalam munajat. Dua batu kecil lainnya, yang menjadi tumpuan kaki, seperti mengingatkan setiap peziarah bahwa doa harus berpijak pada ketulusan dan keikhlasan.
Tak jauh dari sana, makam Putri Campa berdiri dalam kesunyian yang damai. Murid setia Sunan Bonang ini seolah masih menjaga petilasan gurunya, membisikkan doa-doa yang tak pernah usang dimakan zaman.
Tangga Panjang Menuju Keheningan
Untuk mencapai Pasujudan Sunan Bonang, setiap peziarah harus mendaki anak tangga yang panjang. Tangga-tangga itu seperti guru yang mengajarkan kesabaran, satu demi satu, membawa setiap langkah menuju ketenangan jiwa. Pepohonan rindang di sepanjang jalan ikut tersenyum, memberikan keteduhan bagi siapa saja yang datang dengan hati yang bersih.
Di puncak, berdiri sebuah bangunan mungil yang melindungi petilasan. Pintu masuknya hanya setinggi 50 cm, seolah ingin berbisik lembut, “Rendahkan hatimu sebelum melangkah masuk.” Peziarah pun harus merangkak, bukan karena bangunan ini kecil, tetapi karena kebesaran spiritual yang ada di dalamnya hanya bisa diraih dengan kerendahan hati.
Sebuah Perjalanan, Sebuah Renungan
Setiap orang yang datang ke Pasujudan Sunan Bonang tidak hanya membawa doa, tetapi juga pulang dengan renungan. Tempat ini bukan sekadar batu yang membisu, tetapi cermin yang mengingatkan manusia akan hakikat kehidupan.
Di sini, setiap desiran angin membawa pesan tentang ketulusan. Setiap daun yang gugur berbisik tentang kefanaan. Dan setiap batu yang diam menjadi saksi bahwa doa yang dipanjatkan dengan khusyuk tak akan pernah hilang, melainkan melangit, mengetuk pintu-pintu rahmat Tuhan.
Pasujudan Sunan Bonang menanti, seperti seorang sahabat lama yang siap mendengarkan setiap harapan dan doa. Bagi siapa saja yang datang dengan hati yang bersih, tempat ini akan membisikkan kedamaian yang tak terlukiskan. Aba Muhtarom Tabisa